Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani
sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat
ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun.
Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie
bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie.
Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai
Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul
Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai
Asyfi‘ah).
Tanda-tandanya sebagai ulama yang dekat dengan
Allah sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai
Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah
sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti
luhur.
Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna
merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila
berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.
Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kiai
Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga
pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun
kecuali di pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku
dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang
Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke
mana-mana.
Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya
secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini,
hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H.
Syamsuddin (?) di Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil
Gus Ud ini, Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan
Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada
K.H. Birrul Alim.
Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab
Alfiyah Ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd.
Syakur, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini
beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran
kakak iparnya itu, Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai
Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir
kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai
Hasani, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat.
Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang
belajar secara langsung kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah
pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie
bin Noerhasan, abah Kiai Hasani.
Konon, salah satu penyebab Kiai Hasani alim
tanpa perlu belajar di lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa K.H. Ma’ruf
(Kedungloh Kediri). Kiai Ma’ruf adalah teman akrab K.H. Nawawie bin Noerhasan,
Abah Kiai Hasani. Ia masyhur sebagai wali Allah. Bisa bertemu langsung dengan
Nabi Khidir dan bila ada kesulitan, langsung berdialog dengan Rasulullah
SAW.
Suatu saat, Kiai Hasani sowan kepada ulama
sepuh itu. Setelah menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh K.H. Ma’ruf:
“Apakah sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kiai Hasani menjawab
tidak. Lalu Kiai Ma’ruf menawari untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari,
tapi Kiai Hasani menolak. Kiai Hasani mengatakan beliau sulit untuk
kerasan.
Kiai Ma’ruf lalu menawari Kiai Hasani untuk
mengamalkan puasa selama 3 hari. Selama puasa hanya diperkenankan sahur dan
berbuka hanya dengan satu biji kurma. Dengan tirakat ini, K.H. Ma’ruf menjamin
Kiai Hasani bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-lagi Kiai Hasani menolaknya
karena merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu.
Mendengar jawaban Kiai Hasani itu, K.H. Ma’ruf
menyuruh beliau pulang dan berjanji akan mendoakannya dalam setiap
sholat.
Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam
pendidikan di lembaga tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani
lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau
tekun me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin
pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan dan
kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada
halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu
diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.
Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya
dari pesantren ke pesantren. Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda
sedang pada puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para
penjajah itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun
modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti Kiai
A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang mengangkat senjata, Kiai
Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi
kamp-kamp Belanda dan berpidato di situ.
Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya
menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang
sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan
markas perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani
itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari
Sidogiri.
Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati
Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka.
Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka
sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan, mereka pun
menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani.
Kiai Hasani Nawawi: Pola Hidup
Sufi
21 Kali Bermimpi Soekarno
Terletak di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri
bersebelahan dengan Mesjid, dalem itu tampak sepi. Seperti tak ada kegiatan
kerumahtanggaan di situ. Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu
bercat cokelat. Bagian depan berlantai semen seluas 1x3 meter. Tak ada aksesori
apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depan dalem. Pagar bambu yang
menutupinya sudah tampak agak rusak. Di sebelah barat, dalem itu ditutupi
beberapa satir dari anyaman bambu.
Di sinilah, Kiai Hasani tinggal. Jika anda ke sana,
anda tak mengira bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani,
terutama di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana. Tapi, dari sinilah
figur panutan itu meniupkan angin sufisme dari pikiran ke pikiran: sufisme yang
tidak hanya dalam bentuk konsepsi, tapi sebuah realitas kehidupan.
Kiai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang
dijalani dalam hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang
tak mengacuhkan materi. Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau
sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi‘lan.
Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang pola hidup
sufistik pada jaman ini, secara realitas tidaklah populer, meski hal itu sering
muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi tumpukan cerita di masa
lalu.
Nilai utama sufisme yang selalu dipegang teguh oleh
beliau sampai akhir hayatnya adalah al-bu‘d ‘an al-dun‘ya. Dalam catatan
sejarah, nilai ini dipopulerkan oleh Sayyidina Ali yang menyatakan talak tiga
untuk dunia. Begitu pula dalam pandangan Kiai Hasani, hubb al-dun‘ya
(suka dunia) adalah penyakit yang telah amat kronis menimpa umat ini. Suatu
ketika, dalam sebuah manuskripnya, beliau mengungkapkan bahwa akar dari
kerusakan umat ini adalah kesenangan ulama-ulamanya kepada dunia.
Memang, dari 8 orang putra Kiai Nawawie, semuanya
hidup miskin. Tapi, yang membuat Kiai Hasani berbeda dari saudara-saudaranya
adalah kesempatan untuk kaya selalu beliau tolak. Beliau tidak pernah
menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa jumlah
uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau.
Begitulah Kiai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud
(asketisme) menjadi cermin utama dalam pola hidup yang beliau jalani. Seperti
tak ada kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh
(termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya dengan
Kiai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka mobil. Sering
tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah keperluan. “Keinginan punya
mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu ketika kepada K.H. Nawawi bin Abdul
Jalil, keponakannya.
Jika anda masuk ke dalem Kiai, maka mesti tersirat
sebuah kesimpulan betapa sederhananya beliau. Di dalem, tidak terdapat peralatan
apa-apa. Tak ada hiasan dan hanya berlantai semen. Menariknya di dinding sebelah
dalam, Kiai menggantungkan celurit, pacul dan tangga. Entah isyarat apa yang
beliau maksudkan dengan peralatan tani ini. Yang jelas, barang-barang itu bukan
hiasan yang dimaksudkan untuk menambah keindahan pemandangan.
Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, K.H.
Hasani biasanya hanya cukup dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap.
Makanan kesukaan beliau adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan
tempe mendol.
Pada hari Senin, sehari sebelum wafat, Kondisi beliau
semakin melemah. Dokter yang memeriksanya menganjurkan agar makan lebih banyak,
tapi beliau beralasan bahwa sejak dulu beliau tidak pernah makan banyak.
Akhirnya Dokter hanya menyarankan agar yang penting perut tetap ada
isinya.
Uniknya, Kiai malah memberi makan kucing piaraannya
dengan ikan tongkol dan ikan-ikan yang biasanya menjadi lauk kebanyakan orang.
Kiai memang suka memelihara hewan yang konon juga merupakan hewan piaraan
kegemaran Abu Hurairah, Sahabat Nabi dan perawi hadits paling masyhur itu.
Kucing-kucing yang terlantar dan sakit-sakitan beliau rawat dan dipeliharanya
dengan baik sampai sehat dan gemuk. Kalau ada kucing yang mati maka beliau akan
menguburkannya layaknya manusia. Suatu saat salah satu kucing piaraan beliau
terlindas kendaraan salah satu keluarga. Lalu dikuburkan di suatu tempat. Ketika
tahu kejadian tersebut, beliau langsung membongkar lagi kuburan kucing tersebut
dan dipindahkan ke tempat penguburan kucing yang terletak di belakang dalem
beliau. Dalam dawuhnya, Kiai Hasani menyatakan bahwa kucing merupakan
nunutan beliau untuk masuk surga. “Kamu tidak punya dosa, Pus!” dawuh
beliau suatu hari seperti berdialog dengan kucing kesayangannya.
Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu.
Hidup layaknya orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayah bagi beliau.
Berpakaian seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa
hitam. Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau
juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua merupakan
manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk hidup layaknya orang
biasa.
Kiai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut
jasmaniah para ulama. Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah
suatu ketika, beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di
Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para kiai, tertulis kalimat
“Khusus Masyayikh”. Tahu ada tulisan semacam itu, Kiai Hasani yang kebetulan
diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan masuk. Apa kata beliau?
“Aku bukan masyayikh”. Akhirnya tuan rumah melepas tulisan itu dan Kiai Hasani
pun berkenan masuk. Konon, Kiai juga senang diundang ke Probolinggo karena di
tempat itu beliau tidak di’istimewa’kan dari yang lain.
Jika Kiai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa
untuk hidup seperti lazim tokoh-tokoh lain. Dalam pembagian tirkah
warisan setelah beliau wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di
bawah kasur, di dalam kitab dan di tempat-tempat lain. . Ini merupakan sebuah
cermin bahwa Kiai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya.
Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan sampai kau
ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar pada uang,” ungkap
beliau menyiratkan sebuah pandangan zuhdiyah-nya.
Dulu, Kiai Hasani pernah titip modal kepada H. Makki,
salah satu jutawan terkenal di Pamekasan Madura. Hal ini dimaksudkan beliau
sebagai pemenuhan atas kewajiban berkasab bagi seorang muslim. Tapi, sampai
akhir hayatnya Kiai Hasani tidak pernah menghiraukan uang itu lagi. Menjelang
pembagian warisan, uang itu diserahkan oleh H. Makki kepada keluarga beliau di
Sidogiri.
“Al-Dun’ya dawa’,” dawuh Hadratussyekh. “Dunia
adalah obat”. Kalimat singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi. Syahdan, Kiai
Hasani pernah bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia).
Dalam mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-dun’ya
dawa” kepada Kiai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis
dalam manuskripnya itu, terjadi selama 21 kali.
Awalnya K.H. Hasani tidak paham apa maksud dari
kalimat tersebut. Lalu beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau
Almaghfurlah K.H. Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, K.H. Cholil bisa
menjawab apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat”. “Obat itu hanya digunakan
jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan, begitu pula dunia,” jelas Kiai
Cholil kepada Kiai Hasani. Mengenai hal itu, Kiai Hasani juga berdawuh: “Yang
baik, obat itu apa kata dokternya. Tidak boleh overdosis.”
Pandangan dan sikap hidup asketis itu memang telah
beliau tampakkan semenjak muda. Tak ada tempat di hati untuk kesenangan duniawi.
“Saya ingin tahu, seperti apa rasanya senang dunia itu?” dawuh beliau suatu
ketika.
Begitulah Kiai Hasani, selalu memelihara kelarasan
antara dawuh dan perilaku. Kekentalannya dengan sufisme tidak hanya
terejawantahkan dalam kata-kata, tapi juga pola hidupnya sehari-hari. Oleh
kerena itu, beliau sering mewanti-wanti bahwa sekarang ini yang terpenting bagi
kita adalah mengamalkan ilmu. “Kalau dulu memang dibutuhkan orang-orang alim,
sekarang sudah tidak perlu lagi. Semuanya sudah alim-alim. Kita hanya perlu
menyelamatkan diri,” tegas Hadratussyekh.
Ulama memang telah begitu banyak. Lalu, sebanyak
itukah orang yang bermoral ulama? Sufisme telah menjadi kajian luas: di majelis
ta‘lim, seminar, halaqah, dan mimbar-mimbar kuliah. Buku-buku tentang tasawuf
membanjiri toko-toko. Lantas, seluas itukah nilai-nilai sufisme itu telah
diterapkan? Kiai Hasani seperti mengkritik itu semua: “al-Ilm al-yawm
mazhlum,” dawuh beliau penuh kecewa. Saat ini, ilmu pengetahuan (terutama
pengetahuan agama) memang telah menjadi korban.
Pandangan kritis itu tidak hanya ditunjukkan Kiai
Hasani untuk para ulama dan cendekiawan. Dalam pandangan beliau, orang-orang
yang melaksanakan ibadah pun sekarang banyak yang maghrur, terjerumus
dalam lembah kedunguan. Setelah naik haji pada tahun 1958, beliau enggan untuk
naik haji lagi. Hadratussyekh begitu prihatin melihat Baitullah itu sekarang.
Begitu banyak munkarat di situ. Padahal kita mesti ekstra hati-hati di
Tanah Suci itu. Tanah Haram tidak bisa dibuat sembarangan.
Mengenai ibadah, Kiai Hasani memberi penekanan utama
pada sisi makna. Ibadah bukan cuma urusan ritual badaniah belaka, tapi
berintisari pada pemaknaan hati. Oleh karena itu, beliau lebih suka melakukan
ibadah yang dirasanya sebagai hal berat. Di situ ada upaya menundukkan hati
kepada Ilahi. Mengatur gerak hati memang lebih berat dibanding aktivitas
jasmaniah. Ini terutama menyangkut keikhlasan dan gerak kalbu yang lain. “Lebih
berat maksiatnya hati dari pada maksiatnya badan,” dawuh beliau.
Menjadikan gerak kalbu sebagai esensi segala
aktivitas merupakan pandangan yang diperkenalkan kalangan sufi. Kendati
demikian, Kiai Hasani sangat kukuh dan tegas memegang norma-norma ritual sebuah
ibadah. Beliau amat tegas dengan kebenaran tatalaksana shalat menurut aturan
fiqh, begitu pula dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan, sampai masalah adzan pun
beliau mempunyai perhatian amat serius. Sampai sekarang, adzan di Mesjid
Sidogiri tidak pernah berlagu. Kiai Hasani marah jika adzan dilakukan berlagu.
Memang, pada aspek tatakrama, adzan berlagu hanya mementingkan dominasi seni
serta telah kehilangan makna panggilannya menghadap Allah.
Persis seperti umumnya para sufi, K.H. Hasani sejak
lama merindukan mati, sebuah keinginan yang tidak wajar dalam pikiran orang yang
belum merasakan betapa sesak dunia ini dan betapa indah bertemu dengan Sang
Rabb. Kerinduan itu sering beliau ungkapkan, terutama menjelang hari wafatnya.
Apa yang menguntungkan dari mati? ”Kalau orang baik pendek umur, ia cepat ketemu
kebaikannya. Kalau orang yang jelek pendek umur, ia cepat putus dari
kejelekannya agar tidak banyak dosanya,” dawuh Hadratussyekh membangun logika
dari pandangannya.
Jika ada tamu, Kiai Hasani selalu mengantarkan
sendiri suguhannya. Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak
bisa menghormati mereka dengan layak.
Etiket sufisme lain yang juga sudah begitu melekat
pada Kiai Hasani adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi,
khumul berarti tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan dirinya).
Dalam tuntunan tasawuf Ibnu Atha’ al-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu
dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani kehidupan
sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. “Sing enak saiki
iki mastur,” dawuh Kiai kepada K.H. A. Nawawi bin Abdul DJalil,
keponakannya.
Memang, khumul seperti telah menjadi filosofi
baku, tidak hanya bagi Kiai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok pesantren yang
sudah berusia 256 tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian: tidak pernah
menyebar brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun bagi
Sidogiri terkesan tabu.
Kiai Hasani Nawawi:
Perjuangan Mendidik Generasi
Mendidik Masyarakat dengan Uswah
Tak ada Kiai Hasani, Sidogiri seperti
kehilangan urat nadi. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang punya perhatian penuh
pada shalat,” kalimat itu kerap terdengar dari santri Sidogiri pasca wafatnya
Hadratussyekh K.H. Hasani Nawawie.
Memang, selama dasawarsa terakhir, Sidogiri
memiliki komitmen pendidikan shalat yang luar biasa. Upaya pendidikan shalat
bagi santri digalakkan sedemikian rupa. Bahkan, semenjak dua tahun yang
terakhir, Sidogiri menetapkan lulus ujian shalat sebagai syarat kenaikan kelas
di madrasah.
Komitmen yang luar biasa hebat ini merupakan
buah perhatian ekstra Kiai Hasani terhadap shalat santri. Dalam dawuhnya, beliau
menyatakan bahwa shalat merupakan standar keberhasilan pendidikan di Pondok
Pesantren Sidogiri. Shalat santri baik, berarti pendidikan berhasil; shalat
santri jelek, berarti pendidikan gagal.
K.H. Hasani memang lebih sering memerankan
sebagai sosok yang mengerem langkah Pesantren Sidogiri agar tidak bergeser dari
visi semula: ingin mencetak ‘ibad Allah al-shalihin. Beliau adalah
supervisor, penyelia segenap komponen pesantren yang sedang
berproses.
Tugas ini beliau akui sebagai beban yang
mahaberat, soalnya menyangkut tanggung jawab di hadapan Allah. Tugas mahaberat
ini sejalan dengan pandangan beliau bahwa pesantren merupakan lembaga yang
ussisa ‘ala al-taqwa, dibangun dan berdiri atas dasar takwa kepada Allah.
Jadi, bagaimanapun dan kemanapun pesantren ini melangkah, takwa tetap harus
menjadi oreintasi dasar.
Hal tersebut betul-betul membuat Kiai Hasani
tidak bisa tenang, terutama ketika menyaksikan ibadah santri. Di dalem, Kiai
kadang berdiri sampai berjam-jam menghadap ke mesjid. Beliau memperhatikan
dengan seksama santri yang sedang melakukan shalat. Kiai memang mempunyai
keprihatinan yang mendalam melihat shalat santri belakangan ini.
Kiai menjalankan kontrol penuh terhadap
mesjid. Sampai sekarang pun, dalemnya yang terletak bersebelahan dengan mesjid
itu seperti menjadi pengawas bisu bagi santri yang masuk ke mesjid. Mereka
terlihat amat hati-hati berada di mesjid ini, terutama ketika Hadratussyekh
masih hidup.
Menyaksikan mesjid Sidogiri akan terlihat
aktivitas ibadah yang berlangsung tertib. Mesjid selalu ramai dengan lalulalang
santri yang hendak, usai, atau sedang melaksanakan ibadah. Bangunan tua itu
memang padat dengan aktivitas dalam 24 jam. Tapi, semuanya berjalan tenang dan
tertib. Ini semua buah kontrol ketat Kiai Hasani terhadap tempat ibadah itu.
Kontrol penuh K.H. Hasani atas mesjid itu memang terbukti efektif bagi
pembangunan semangat ibadah bagi santri Sidogiri.
Kiai Hasani sangat tidak suka jika tempat
ibadah itu dicampuri dengan hal-hal yang bisa merusak makna ketertundukan
terhadap sang Maha Pencipta. Setiap kali ada hal-hal yang mengurangi kesopanan
terhadap tempat suci ini, Hadratussyekh mesti memberi respon kontrolnya, minimal
dalam bentuk teguran kepada orang yang dipasrahi untuk menjaga ketertiban ibadah
di mesjid.
Beliau sering memberi teguran jika terjadi
keramaian yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Peringatan yang sering beliau
sampaikan kepada santri menjadi kontrol efektif bagi mereka untuk tidak berlaku
urakan dan keterlaluan dalam bergurau dan mengekspresikan sesuatu. Kontrol itu
sangat melekat pada jiwa masing-masing santri. Saking lekatnya kontrol dari
Hadratussyekh ini, setiap terjadi keramaian, satu kata “dalem” betul-betul ampuh
untuk membuat mereka diam dan tenang kembali. Pada aspek apapun,
Dalam segala hal, K.H. Hasani menekankan
pentingnya keseriusan. Pada aspek apapun Kiai berpegang pada prinsip
falyadhaku qalila walyabku katsira, perbanyak menangis dibanding tertawa.
Prinsip tersebut merupakan prinsip dasar yang diajarkan al-Qur’an sebagai
pandangan hidup bagi setiap muslim.
Sebagai pemangku utama Pondok Pesantren
Sidogiri, peran K.H. Hasani dalam menjaga keseimbangan arus pesantren agar tidak
bergeser dari prinsip al-Salaf al-Shalihin betul-betul vital. Beliau
menitikkan perhatiannya pada pembentukan haliyah, perilaku dan moral
santri. Ini adalah bagian dari pandangan dan komitmen beliau yang luar biasa:
bahwa santri merupakan tanggung jawab mahaberat dun’ya wa
ukhra.
Kiai Hasani: uswah sebagai
strategi dakwah
Beliau memang sosok sufi, zuhud dan tidak
menyukai kehidupan materialistik. Sebagai sosok dengan komitmen relegius yang
kental, tak bisa dibayangkan betapa kecewa beliau melihat ‘jaman’ ini. Ya,
kekecewaan itu memang sering diungkapkan beliau. Bahkan, berbagai manuskrip,
maqalah dan pandangan-pandangannya kerapkali menumpahkan kekecewaan yang
mendalam itu.
Anehnya, kekecewaan itu tidak membuat beliau
lebih suka berada di menara gading dan menghabiskan hari-harinya dengan
menikmati munajat kepada Allah di hamparan sunyi. Pandangan hidupnya yang
zuhud tidak membawa beliau untuk menyepi, menjauh dari khalayak.
Kiai Hasani suka berbaur dengan masyarakat
sekitar. Kerap berkumpul di tengah-tengah mereka untuk sekedar bincang-bincang,
kadang juga di warung-warung. “Kalau kiainya warung dan kiainya kucing, tanyakan
saya,” dawuh beliau suatu ketika. Detik-detik persentuhan dengan masyarakat
itulah yang kerap digunakan Hadratussyekh untuk menaburkan ajaran Islam dari
pikiran ke pikiran.
Kedekatannya dengan masyarakat akar rumput
membuat mereka merasa amat kehilangan atas kemangkatan Kiai Hasani. “Kiai Hasani
wafat, siapa lagi yang akan dekat dengan masyarakat,” ujar salah seorang
penduduk desa. Kiai Hasani selalu hadir jika diundang masyarakat, baik untuk
walimah atau acara-acara selamatan lain. Bahkan beliau selalu hadir tepat waktu,
meskipun undangan lain masih belum datang. “Jika diundang jam tujuh, beliau
datangnya pas jam tujuh. Kadang tuan rumahnya pun waktu itu masih belum
persiapan,” cerita salah satu sumber.
Dalam dakwahnya kepada masyarakat luas, Kiai
Hasani lebih mengutamakan aksi dibanding retorika. Selama hidupnya,
Hadratussyekh tidak pernah tampil memberi ceramah maupun pengajian di depan
publik. Beliau berdakwah dari pintu ke pintu; dari orang ke orang. Naluri dakwah
semacam inilah yang membuat masyarakat merasa bahwa Kiai Hasani begitu dekat
dengan mereka. “Mereka tidak salah. Yang salah itu kamu dan aku. Mereka tidak
mengerti, tidak mendengar dakwah Islam,” dawuh Kiai kepada Mas Abdullah Syaukah,
keponakannya.
Kiai Hasani memang sosok ulama yang mempunyai
kepedulian sosial amat tinggi. Kiai memposisikan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat bawah, juga merasakan penderitaan mereka. Hal ini misalnya tercermin
dari sikap tenggang rasa yang beliau tampakkan untuk kalangan bawah itu. Naik
becak dari lapangan Sidogiri ke dalemnya saja (sekitar 200 meter), Kiai memberi
ongkos dari Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu. Suatu ketika salah satu keponakannya
yang menyaksikan hal tersebut bertanya: “Apa tidak terlalu banyak, Kiai?” Apa
dawuh Kiai Hasani? “Kalau aku disuruh nyetir becak itu dari lapangan ke sini,
diberi uang segitu pun aku tidak mau,” jawab beliau. Dawuh semacam itu timbul
dari kepedulian dan tenggang rasa yang mendalam terhadap penderitaan kalangan
bawah.
Kiai begitu memahami keadaan masyarakat
bawah. Dalam membimbing mereka menuju kebenaran, beliau lebih mengutamakan
langkah memberi teladan. Segala segi dari pola hidup yang beliau jalani
merupakan bagian dari bimbingan melalui haliyah itu. “Sebetulnya,
sekarang pun aku mampu membeli mobil Mercedes keluaran terbaru. Tapi, aku takut
masyarakat mempunyai pemahaman keliru bahwa menjadi kiai itu enak. Lalu mereka
memondokkan anaknya ke pesantren biar jadi kiai dan hidupnya enak,” dawuh beliau
mengungkapkan visi dakwahnya kepada salah seorang guru Sidogiri.
Kiai memang terkenal sebagai sosok ulama yang
selalu menjaga kemanunggalan kata dan sikap. Semua yang beliau katakan, selalu
beliau laksanakan. Dalam berdakwah, beliau mesti memulai dari diri sendiri.
Dalam bahasa K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Kiai Hasani adalah ulama yang
alim amaliyah dan amil ilmiyah. Hal tersebut diungkapkan K.H.
Hasyim saat memberi sambutan dalam selamatan 40 hari wafatnya
Hadratussyekh.
“Saat ini, kita amat terpukul dengan
kepergian Kiai Hasani. Tapi hal itu tidak cukup. Yang terpenting bagi kita
setelah ini adalah meneladani kehidupan yang telah dicontohkan beliau,” ungkap
salah satu ulama dalam kalimat belasungkawanya di hadapan kaum muslimin ketika
akan melaksanakan shalat jenazah yang ke-8 untuk al-Maghfurlah K.H.
Hasani.
Kiai Hasani adalah sosok yang netral. Dalam
berdakwah, beliau tidak pernah membeda-bedakan orang. Siapapun orangnya, kalau
ia memiliki visi dakwah yang sama, maka akan beliau dekati. K.H. Hasani tidak
pernah mempermasalahkan dari kelompok mana ia. Dalam aksi dakwah dan
pemberdayaan umat, baju sektarianisme mesti harus disingkirkan. Yang terpenting
bagi K.H. Hasani orang itu adalah muslim yang taat beragama.
Dalam hidupnya, selain dikenal dekat dengan
sejumlah ulama dari kalangan NU, K.H. Hasani juga dekat dengan ulama-ulama yang
terkenal sebagai tokoh Syi’ah, seperti Habib Husein al-Habsyi (YAPI Bangil) dan
Habib Husein al-Habsyi (Malang). Kedua tokoh tersebut memang dikenal sebagai
ulama yang amat concern dengan dakwah Islam dan pemberdayaan
umat.
Tidak ada kamus fanatik terhadap figur
tertentu bagi K.H. Hasani. Standar tunggalnya adalah visi dan ketaatannya dalam
beragama. Pernah suatu ketika ada acara Peringatan Tahun Baru Islam yang
diselenggarakan GP Ansor di lapangan Sidogiri. Penceramah dalam acara tersebut
adalah Habib Muhsin Alatas. Sehabis acara, Muhsin Alatas berniat sowan kepada
al-Maghfurlah K.H. Hasani. Ia minta tolong kepada Sudirman (kawan dekat Mas Fuad
Noerhasan, keponakan K.H. Hasani) untuk menyampaikan maksudnya kepada
beliau.
Kiai Hasani menolak bertemu dengan habib
tersebut, karena dikiranya adalah Habib Husein al-Habsyi Malang. Seperti telah
menjadi berita hangat di berbagai media, saat itu Habib Husein terlibat dalam
percaturan politik yang memanas. Ia memberi statemen akan menghadang Banser
dengan pasukan Ikhwanul Muslimin. Statemen ini nyaris mengakibatkan perpecahan
antara sesama umat Islam. Ia juga sering berkomentar kepada sesama muslimnya
dengan nada cacian (tentang Gusdur misalnya). K.H. Hasani tidak suka dengan
sikap Habib Husein itu kendati sebelumnya beliau cukup dekat. Kiai menolak untuk
bertemu dengannya. Ketika dijelaskan bahwa yang akan sowan bukan Habib Husein,
tapi Habib Muhsin Kiai Hasani bersedia menerimanya.
Kiai Hasani memang tidak suka dunia politik.
Selama hidupnya, beliau tidak pernah mendukung partai apapun di Indonesia. Tapi
jika perseteruan politik mengakibatkan pecahnya umat, maka Kiai akan peduli
untuk mempersatukan kembali.
Saat di Pasuruan terjadi aksi dukung
mendukung atas pemberhentian Bupati Dade Angga, silaturrahim K.H. Hasani ke
Bupati dapat meredam gejolak massa yang hampir mengakibatkan suasana
chaos di kota santri ini. Ketika suasana Pasuruan sedang dalam
keruh-keruhnya karena demonstrasi massa mendesak Dade Angga mundur,
Hadratussyekh berkunjung ke Pendapa Kota Pasuruan. Kunjungan Kiai itu sebagai
silaturrahim biasa. Sebelumnya, Bupati bersilaturrahim ke dalemnya, kemudian
ganti beliau bersilaturrahim ke Bupati.
Silaturrahim Kiai ke Bupati itu ternyata
mendapat perhatian luas dari masyarakat. Media massa utama Jawa Timur, Jawa
Pos (Radar Bromo) dan SURYA sempat mengeksposnya. Dan,
silaturrahim itu membawa dampak positif bagi perkembangan Pasuruan. Kota Untung
Suropati ini berangsur-angsur tenang kembali.
Kiai Hasani: Pandangan dan
Visi
Dukungan Penuh atas Pancasila
Jika teliti, anda akan menangkap sebuah
pemandangan aneh di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk
timur tepat di sebelah barat jalan, anda akan disambut ukiran Burung Garuda.
Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di
bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain
itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren
Sidogiri.
Ada apa gerangan dengan gerbang Sidogiri?
Konon, ukiran Burung Garuda dan butir-butir Pancasila itu dibuat atas instruksi
dari Hadratussyekh K.H. Hasani. Tidak diketahui pasti semenjak kapan. Namun dari
wajah gambar, tampak bahwa ukiran tersebut sudah berusia puluhan
tahun.
Tak heran, Hadratussyekh menginstruksikan
membuat gambar itu di pintu gerbang. Jika anda membaca manuskrip Kiai yang
disebar Keluarga beberapa puluh hari setelah wafatnya, anda pasti bisa
meraba-raba apa maksud beliau dengan gambar itu.
Kiai Hasani, seperti yang banyak beliau tulis
dalam manuskripnya, merupakan tokoh yang memiliki kekaguman luar biasa dengan
butir demi butir Pancasila. Butir-butir itu searah dengan pemikiran beliau, tapi
dalam penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki orang pada lazimnya.
Perbedaan penafsiran itu terletak pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan tegas Kiai Hasani menyatakan bahwa
sila pertama ini hanya sesuai dengan akidah Islam, tidak dengan agama-agama
lain. Logikanya, dengan sila ini semua agama tidak berhak untuk hidup di
Indonesia karena tidak sesuai dengan dasar negara.
Apa yang beliau ungkapkan tentang tafsir sila
ini tidak hanya sekedar apologia. Kiai Hasani membangun sebuah argumentasi
teologis yang mapan. Beliau mengurut arti kata “esa” dari langgam teologi: bahwa
pada titik makna dasarnya keesaan itu hanya sesuai dengan akidah
Islam.
Argumentasi yang beliau bangun tentang
kemanunggalan sila pertama dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa
sila tersebut mengandung dua unsur pokok. Pertama, kepercayaan
akan eksistensi Tuhan (i‘tiraf al-uluhiyah); kedua,
kepercayaan akan keesaan Tuhan (i‘tiraf al-wahdaniyah). Dengan unsur
pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme-ateisme; sedang unsur kedua
menolak akidah agama selain Islam.
Konsekwensi dari sila tersebut adalah bahwa
Republik Indonesia harus menyesuaikan segala haluan, kebijakan dan
undang-undangnya dengan ajaran Islam, karena ideologi negaranya hanya sesuai
dengan akidah Islam, tidak agama lain.
Sebagai dasar negara tentu hal tersebut harus
betul-betul ditegakkan di Indonesia. Kiai Hasanimenyerukan agar kaum muslimin
betul-betul memperjuangkan Pancasila, dalam arti bahwa “al-hukm bima
anzal-Allah” harus berlaku di Bumi Pertiwi ini.
Dalam pandangan K.H. Hasani Nawawie,
kemanunggalan ajaran Islam dengan Pancasila juga terbentuk melalui sila kedua
(Keadilan Sosial). Jika sila pertama mempresentasikan ajaran Islam terkait
hubungan vertikal dengan Allah, maka sila kedua mempresentasikan ajaran Islam
terkait hubungan horizontal antara hamba dan hamba.
Visi umum ajaran Islam hanya ada dua:
al-qiyam bi haqq al-Haqq dan al-qiyam bi haqq al-khalq. Pertama,
melaksanakan kewajiban terkait dengan Sang Pencipta; kedua, melaksanakan
tanggungjawab terkait dengan makhluk Sang Pencipta. Kedua visi itu
dipresentasikan seluruhnya oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan
Sosial.
K.H. Hasani Nawawie: Visi
Keumatan
Menjelang Pemilu tahun 1997, Sidogiri
terlibat dalam sebuah polemik di majalah Editor. Adalah Ustadz H. Mahmud Ali
Zain yang menjadi jubir Sidogiri ketika itu. Apa yang katanya tentang pemilu?
“Berpartai hukumnya haram”.
Ada apa Sidogiri dengan pernyataan yang
menyentak publik itu?
Penegasan itu datang dari K.H. Hasani
Nawawie. Tak ada hal lain yang mendorong Kiai menegaskan hal itu kecuali
ghirah dan keprihatinan yang sangat kuat melihat fenomena umat. Begitu
mudah persatuan umat tercabik-cabik hanya karena fanatisme yang dihembuskan oleh
kalangan partai. Urusan partai betul-betul telah membuat umat ini berada pada
pertikaian yang tak tentu ujungnya. Bahkan, kerapkali tokoh umatnya sendiri yang
menjadi motor pertikaian itu. Melihat kenyataan bahwa berpartai mengandung
potensi sangat kuat dalam tafriq al-jama‘ah (memecahbelah umat), K.H.
Hasani mengharamkan berpartai itu. Masalah berpartai merupakan sarana untuk
tanshib al-imamah (memilih pemimpin), maka masih ada berpartai bukan
satu-satunya cara untuk memilih pemimpin itu.
Bagaimanapun, kata Kiai Hasani, orang
berpartai akan menumbuh ta‘ashhub (fanatisme) dalam hatinya. Ia akan
membela partainya tanpa melihat apakah partai itu patuh pada syari’at atau
tidak.
Fanatisme partai sudah sedemikian lama
menjadi penyakit yang menggilas semangat ukhuwah. Politik dan berpartai
merupakan motif utama konflik umat secara massal. K.H. Hasani tak kuasa melihat
fenomena ini. Pertikaian umat betul-betul menyesakkan ruang dada beliau.
“Bagaimana aku akan bertanggung jawab di akhirat terhadap santri-santri Sidogiri
yang ikut partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar,” dawuhnya suatu ketika
kepada H. Thayyib (Ketua Yayasan STIE Malangkucecwara), sahabat dekat
beliau.
K.H. Hasani memang sangat konsisten dengan
pandangan-pandangan tentang persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap
madzhab dan golongan tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan
berperilaku Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan
madzhab itu.
Solidaritas Islam begitu mengakar pada
pandangan dan langkah-langkah beliau. Kiai paling tidak bisa menerima jika
melihat umat Islam ditindas. L.B. Moerdani (Panglima ABRI di masa Soeharto)
adalah orang yang sangat dibencinya. Moerdani merupakan tokoh utama di balik
pembantaian ratusan umat Islam di Tanjung Priok. Di kalangan aktivis pembela
Islam, Moerdani dikenal sebagai Panglima Salibis. Hal itu disebabkan karena
sikap kerasnya dalam memusuhi umat Islam dan membela umat Kristen. “Membawa bom,
lalu salaman dengan Moedani, kemudian mati bersama itu bukan mati bunuh diri,
tapi mati syahid,” dawuh beliau.
Santri dan Pesantren : Sebuah
Predikat Moral
SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak
langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah
Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan
kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah yang maha
mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.
Mirip sebuah prasasti, kalimat tersebut
terpampang besar di bagian depan asrama “J” Pondok Pesantren Sidogiri. Terukir
di tembok seluas kira-kira 7x2 meter, berwarna putih dengan latar belakang
hijau. Di sebelah atas tercantum redaksi aslinya dalam bahasa Arab di bawah
judul al-Santri.
Ukiran itu dibuat sekitar 11 tahun yang lalu.
Kalimatnya disusun oleh Almaghfurlah K.H. Hasani Nawawie pada tahun 1972. Sejak
semula kalimat tersebut dijadikan sebagai asas dasar Pondok Pesantren Sidogiri.
Santri yang mondok di situ pasti hafal luar kepala. Bagi mereka, menghafal
kalimat itu sama artinya dengan membaca prinsip hidup dan jati dirinya
sendiri.
Pandangan K.H. Hasani tentang santri dan
pesantren, setidaknya, telah dicurahkan dalam beberapa kalimat itu. Dalam
kemasan “ta’rif santri” tersebut, Kiai Hasani mempertegas bahwa kata
“santri” adalah murni sebagai predikat moral. Santri, bukanlah nama dari sebuah
komunitas tertentu atau kelompok dengan budaya tertentu, tapi murni sebagai
predikat dari sebuah ketaatan beragama.
Ada dua hal pokok yang disebut K.H. Hasani
dalam ta’rif santri itu: ketaatan pada garis agama serta prinsip tegas
dan perilaku yang lurus. Dan, persis seperti apa yang dikemukakannya tentang
santri, beliau juga memberi arti pesantren, murni dalam sebuah predikat moral
keagamaan. Menurut K.H. Hasani, pesantren adalah lembaga yang berdiri atas dasar
takwa kepada kepada Allah atau menjadikan ketaatan beragama sebagai pijak
dasarnya (ussisa ‘ala al-taqwa).
Dalam memandang segala sesuatu (terutama
masalah agama), K.H. Hasani memang selalu bertumpu pada substansi dan prinsip
keagamaan. Jika prinsip dan substansinya sudah benar, beliau tak pernah
menghiraukan lagi siapa dan dari kelompok mana. Hal ini selalu beliau tampakkan
dalam setiap langkah-langkahnya, baik dalam berdakwah, membangun ukhuwah, maupun
dalam kehidupannya sehari-hari.
Kiai Hasani dan Kritik
Sosial
Pandangannya yang lurus dan tak kenal
kompromi membuat K.H. Hasani disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putera
ulama besar, tapi yang membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang
lurus serta tegas.
Kiai Hasani memang tak segan-segan menegor
siapa saja yang dianggapnya tidak mengindahkan ajaran agama, tak terkecuali dia
itu tokoh besar atau mempunyai pengaruh luas. Dalam menyikapi sesuatu, beliau
selalu teliti dan kritis. Kritik-kritik beliau lebih banyak ditunjukkan untuk
para pengemban ilmu pengetahuan, baik santri, pelajar, maupun ulama, dibanding
yang lain.
Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kiai
Hasani tidak terlalu menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai
kesalahan para pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu
dan saya,” dawuhnya.
Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya
moral para ulama. Begitulah salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa
manuskripnya. Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah, komponen yang paling
menentukan baik-buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) dan
umara (kaum birokrat).
Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat
dari bobroknya moral para penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan
karena tidak becusnya para ulama. Begitulah Kiai Hasani mengurai sumber utama
kebobrokan ini. Dalam pandangan beliau, ulama saat ini telah banyak yang
tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb al-jah wa al-mal).
Kritik keras juga beliau alamatkan kepada
para pelajar dan santri. Dalam hal ini, yang menjadi bidikan utama beliau adalah
kebiasaan tidak serius dalam mencari ilmu. Tertawa dan kegaduhan yang tidak
perlu telah menjadi kebiasaan yang telah melekat di tempat belajar dan majlis
al-ilm. Kebiasaan tidak serius ini amat disayangkan Hadlratussyekh. Dalam
sebuah manuskripnya beliau bercerita tentang suasana belajar di majelis
pengajiannya al-A‘masy. Suatu ketika, seorang murid al-A‘masy tertawa saat
berlangsungnya pengajian. Syahdan, al-A‘masy menindaknya dan menyuruhnya
berdiri. “Engkau mencari ilmu yang telah di-taklif-kan Allah kepadamu,
sedang engkau tertawa,” kata al-A‘masy memarahinya. Setelah itu al-A‘masy tidak
menyapa murid itu selama 2 bulan.
Dalam Semalam, Istiqamah Bangun Lima
Kali
Anak adalah buah hati. Keturunan berarti kelangsungan
sejarah bagi seseorang. Tiada anak, hambarlah kehidupan rumah tangga. Tapi,
tidak dengan K.H. Hasani Nawawie. Kiai yang menghabiskan hidupnya dengan lakon
zuhud ini malah tidak ingin punya anak. “Saya ini sudah anak, anaknya Kiai
Nawawie Sidogiri. Jadinya seperti ini. Kalau saya punya anak, jadinya seperti
apa. Sedang antara saya dan Abah bayna al-sama’ wa al-sumur (antara
tingginya langit dan dalamnya sumur),” dawuhnya.
Filosofi yang dipegang Kiai Hasani tentang “anak”
memang tidak seperti filosofi yang dipegang orang pada umumnya. Beliau memandang
keturunan tidak dalam bentuk kuantitas, tapi murni pada kualitas kesalehannya di
hadapan Sang Pencipta. Dan, Hadlratussyekh, sampai akhir hayatnya, tidak
mempunyai seorang putera pun. Beliau hanya mempunyai dua putera angkat, Yaitu
Mas Abdul Bari dan Mas Anshori (Putera Nyai Sholihah, isteri Kiai Hasani yang
ketiga).
K.H. Hasani beristeri tiga kali. Dari ketiga
isterinya itu, beliau tidak menurunkan putera sama sekali. Isteri pertama beliau
adalah Ibu Nyai Zubaidah. Tidak begitu lama berkeluarga dengan Ibu Nyai
Zubaidah, Kiai Hasani men-firaq-nya. Beliau kemudian berkeluarga dengan
Ibu Nyai Lilik, puteri K.H. Zaini Rembang. Namun, tidak lama juga beliau
men-firaq-nya. Yang terakhir beliau berkeluarga dengan Ibu Nyai Sholihah.
Ibu Nyai Shalihah berasal dari Malang. Beliau adalah janda dengan putera 7
orang. Puteranya yang ikut ke Sidogiri hanya 2 orang, yaitu, Mas Abdul Barri dan
Mas Anshori.
Terhadap keluarganya, Kiai Hasani mempunyai perhatian
penuh terutama pada sisi moral. Nuansa zuhud dan sufi tidak hanya kental pada
diri beliau semata, tapi juga segenap keluarganya. “Kamu mau saya jadikan apa
saja ikutlah!” dawuh beliau kepada Mas Abdul Barri, salah satu putera
angkatnya.
Disiplin ajaran Islam betul-betul beliau terapkan
pada keluarganya. K.H. melarang keras keluarganya keluar tanpa disertai mahram.
Wanita yang bukan mahram tidak boleh masuk ke dalemnya. Beliau juga melarang
televisi bagi keluarganya. Dalam pandangan Kiai Hasani, televisi banyak
mudharat-nya dalam pembentukan moral. “Meskipun thariqat kalau
masih ngingu (punya) TV, itu thariqat gendeng,” dawuh beliau
mengometari media hiburan plus informasi itu.
Sehari-hari beliau menekankan pentingnya shalat
berjamaah bagi keluarganya. Beliau sendiri, sejak masih belum baligh tidak
pernah meninggalkan shalat berjamaah. Dan, Kiai lebih suka melaksanakan shalat
jamaah di dalemnya daripada di mesjid. Konon, beliau tidak betah shalat di
mesjid yang sehari-hari ramai dengan aktivitas ibadah santri itu. Kiai Hasani
tidak tahan melihat ibadah santri, yang menurut beliau, tidak karuan. “Kalau aku
shalat di mesjid, marah-marah nanti,” dawuhnya.
K.H. Hasani melalui hari-harinya dengan lakon yang
amat berat. Anjuran tasawuf tentang “perbanyak menangis daripada tertawa”
betul-betul beliau laksanakan. Hari-harinya beliau lalui dengan perasaan susah,
terutama ketika ada hujan, petir dan banjir. Hal ini beliau lakukan sebagai kiat
untuk menjaga hati agar selalu mengingat Allah. Bahkan, jika merasa gembira
beliau memaksakan diri untuk susah. “Hati yang dibuat susah, meskipun karena
urusan dunia, baik untuk hati tersebut. Sebaliknya, jika dibuat gembira,
meskipun karena akhirat itu justru tidak baik untuk hati itu”. Begitulah prinsip
beliau.
Setiap malam, Kiai Hasani istiqamah bangun dalam
setiap jam. Dalam semalam Kiai bangun sebanyak 5 kali, mulai jam 11.00 malam
sampai jam 3.00 dini hari. Setiap selesai shalat Isya, beliau beristirahat
sampai jam 11.00 malam. Kemudian bangun dan berwudlu’, lalu membaca surah
Al-Fatihah. Setelah itu, beliau istirahat lagi. Pukul 12.00 malam, beliau
bangun dan melakukan hal yang sama. Begitu juga pada pukul 1.00 dini hari. Pukul
2.00 beliau bangun lagi, berwudlu’, membaca surah Al-Fatihah lalu
bertafakkur sebentar kemudian istirahat kembali. Pukul 3.00, beliau bangun dan
terus melakukan ibadah sampai subuh tiba.
Dalam ibadah Kiai Hasani lebih senang mengerjakan
yang dianggapnya paling berat. Beliau suka ber-mujahadah. Ning Hikmah
(keponakannya) pernah bercerita mengenai CD al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab
lain kepada beliau. Dengan CD, seseorang dapat dengan mudah mencari data-data
yang diperlukan. Tapi, Kiai Hasani menyatakan tidak suka dengan
kemudahan-kemudahan dari produksi teknologi tersebut. “Aku gak seneng, kurang
ganjarane" (Aku tidak suka, karena kurang pahalanya), jawab
beliau.
Selain tegas serta kukuh dalam menegakkan dan
melaksanakan ajaran Islam, Kiai Hasani juga sangat syafaqah dan
penyayang. Rasa syafaqah-nya yang mendalam tidak hanya beliau tunjukkan
untuk sesama manusia, tapi juga kepada makhluk Allah yang lain. Beliau
menyayangi binatang-binatang. Beliau tidak pernah memberi makan kucing di
dalemnya dengan ikan yang masih ada tulangnya. Ikan yang mau diberikan kepada
kucingnya mesti dibuang tulangnya dulu. Ayamnya pun diberi makan roti. “Meskipun
semut, itupun juga makhluk Allah,” kata beliau.
Kiai juga terkenal telaten dalam mengajar. Dulu, Kiai
Hasani mengadakan pengajian khusus untuk keponakan-keponakannya. Pengajian itu
dilaksanakan di dalem Ibu Nyai Hanifah (saudari beliau). Beliau sangat telaten
mengajar keponakan-keponakannya itu. Sampai-sampai ada seorang keponakannya yang
tidak bisa menulis karena sering dituliskan oleh beliau.
10 hari sebelum wafat,
KH Hasani Nawawy Bermimpi Didatangi Imam al-Ghazali
Ribuan orang berjubel di komplek pesarean (makam) Keluarga Pondok
Pesantren Sidogiri. Komplek pemakaman yang terletak di belakang mesjid, sebelah
barat mihrab itu, tampak penuh dengan orang-orang yang ingin memberikan
penghormatan terakhir untuk KH. Hasani Nawawie. Sebagian besar datang dari jauh,
bukan masyarakat setempat. Wajah-wajah mereka terlihat muram. Berduka. Tak ada
tawa. Di sebelah barat komplek pemakaman dengan luas sekitar 50 meter persegi
ini, terlihat wanita-wanita berdesakan meraih satir untuk melihat prosesi
pemakaman dari atas tirai terpal itu.
Di sekitar pagar, tampak petugas dari satuan Banser sibuk mencegah
orang-orang yang merengsek ke pagar. Mereka ingin masuk ke dalam kompleks agar
dapat mengekspresikan penghormatan terakhirnya secara langsung. Di dalam pagar,
tampak Keluarga, tokoh-tokoh dan orang-orang yang sibuk mempersiapkan
pemakaman.
Sementara itu di luar komplek pemakaman, terdengar gaduh.
Masyarakat berebut ikut memikul keranda jenazah Kiai Hasani Nawawie. Minimal,
mereka dapat menyentuh keranda tokoh panutan itu. Melalui pengeras suara,
terdengar seruan agar masyarakat tidak berebutan. “Hormati mayyit, hormati
jenazah, jangan berebutan!” Teriakan itu terdengar sibuk dan sangat keras.
Ketika jenazah sampai di pesarean, masyarakat yang sejak semula
gaduh mulai tenang. Hanya sesekali terdengar bisikan, gumam “Allah” dan isak
tangis wanita dari barat pesarean.
Prosesi pemakaman itu berlangsung sekitar pukul 16.00 Selasa sore,
13 Rabiul Awal 1422 / 5 Mei Juni 2001. Sebelumnya, shalat jenazah dilaksanakan
sebanyak 11 kali di mesjid Jami Sidogiri. Shalat jenazah dilaksanakan
berulang-ulang karena masyarakat yang datang berta’ziah terus mengalir dari
berbagai daerah. Setiap kali shalat jenazah dilaksanakan mesjid selalu penuh,
sampai meluber ke surau dan jalan-jalan. Shalat jenazah pertama dilaksanakan
sekitar pukul 9.00 pagi, sedang shalat jenazah terakhir sekitar 16.00 sore.
Kiai Hasani memenuhi panggilan Allah sehari setelah peringatan
Maulid Nabi Muhammad; tepatnya pada malam Selasa, 13 Rabiuts Tsani 1422, pukul
03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah tinggi
yang sudah sejak lama dideritanya.
Sehari sebelum wafat (malam Senin), Hadratussyekh masih sempat
menghadiri acara peringatan maulid Nabi di Mesjid Sidogiri. Kiai mengikuti
pembacaan diba’ mulai awal sampai selesai. Beliau juga masih sempat berta‘ziyah
ke rumah H. Ismail, seorang warga desa Sidogiri yang wafat sehari sebelum
maulid. Saat itu, Kiai sudah terlihat sakit parah. Sambil dipapah, beliau
berjalan ke rumah H. Ismail yang berjarak kira-kira 150 meter dari dalemnya.
Menurut penuturan dari salah satu putra tirinya, Mas Abdul Bari,
10 hari sebelum wafat, Kiai Hasani bercerita telah didatangi Imam al-Ghazali
dalam tidurnya. Beliau mushafahah (berjabat tangan) dengan tokoh sufi
terkemuka Abad Pertengahan itu. Kiai Hasani merasakan perjumpaan dengan Imam
al-Ghazali seperti dalam alam nyata, tidak dalam mimpi. Beliau tidak
menceritakan lebih lanjut tentang pertemuan dengan Imam al-Ghazali tersebut.
Cuma, pada hari itu pula beliau dawuh kepada K.H. Nawawi Abdul Djalil: “Sing
enak saiki mastur (Yang enak sekarang ini tidak dikenal orang).
Sebelumnya, beliau akan untuk naik haji pada tahun ini menemani
Nyai Shalihah, istri beliau. Niat itu telah diutarakan kepada beberapa Keluarga
Sidogiri. Yang membuat Keluarga Sidogiri tersentak sedih dengan niat Kiai ini,
beliau mengatakan bahwa usai naik haji, dirinya tidak akan kembali
lagi.
Komentar Para Tokoh
tentang KH Hasani Nawawie
Habib Taufik bin Abd. Qodir Assegaf,
Tokoh Habaib Pasuruan“Saya
Kagum Dengan Visi dakwahnya”
Saya cukup kenal dekat dengan beliau.
Dan beliau saya anggap sebagai guru dan orang tua. Banyak hal yang saya teladani
dari figur beliau. waro’, sederhana, dan tidak mau menonjolkan diri adalah salah
satu sifat utama beliau.
Satu hal dari beliau yang selalu saya
ingat adalah kelapangan hati untuk menerima kritik sekalipun dari orang yang
masih muda. Pernah satu ketika, karena melihat beliau sering datang ke pendopo
kabupaten, didorong rasa sayang pada beliau saya sampaikan, “Sebaiknya kiai
jangan sering-sering datang ke pendopo, biar saya saja yang menjadi corong
kiai”. Dibilang begitu beliau sangat gembira sampai-sampai uang yang ada
disakunya dikasihkan pada saya semua, kalau tidak salah sekitar seratus lima
puluh ribu. “orang berani dan jujur begini yang saya senangi”, kata beliau saat
itu.
Dalam dakwah beliau tidak pernah
mempermasalahkan dari golongan mana. Asal visinya jelas dan sesuai dengan visi
dakwah beliau pasti didukungnya. Entah itu NU atau bukan. Dan saya termasuk
orang yang selalu diberi semangat oleh beliau untuk berdakwah.
Dan satu hal lagi, beliau tidak pernah
menyakiti bahkan selalu memberi manfaat pada orang lain. Dan orang yang seperti
itu sangat mahal harganya.
KH. Yusbakir, Wakil bupati Pasuruan
“Penyejuk Birokrat”
Pertama kali mendengar beliau wafat
saya terkejut sekali, sebab salah satu pelita yang menerangi umat telah diambil
oleh Allah. Kiai Hasani sangat punya perhatian pada masalah-masalah
kepemerintahan. Beliau sering datang dalam pertemuan atau rapat di pendopo.
Walau tidak banyak berkomentar bahkan tak jarang tak sepatah katapun beliau
ucapkan. Namun dengan kedatangannya saja kami sudah merasa tenang dan sejuk,
sebab kami merasa apa yang kami lakukan telah mendapat restunya.
Beliau memang lebih senang diam. Jika
berkata sekalipun pendek tapi mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Dan
justru dengan sikapnya diamnya itulah kami semakin respek dan kagum.
Kiai Hasani sangat peka dan tanggap
terhadap persoalan keumatan. Beliau sering bertanya tentang bagaimana situasi
keamanan Pasuruan dan memberikan nasehat-nasehat kepada para pejabat. Perhatian
dan kesungguhan beliau setidaknya bisa dilihat dari masalah suksesi yang sempat
menjadi polemik beberapa saaat lalu. “Yang saya inginkan bagaimana pasuruan bisa
tenang kembali”, kata beliau saat itu.
Sikap yang beliau tunjukkan selalu
memberikan kesejukan pada siapapun yang melihat. Dan ternyata dalam
kesederhanaannya beliau tetap punya kharisma yang begitu kuat.
***
H. Thayyib: Kiai Hasani, ayah dan guru saya
Apa kata STIE tentang Pondok Pesantren Sidogiri?
Sekolah tinggi ekonomi kenamaan di kota Malang ini menganggap Sidogiri sebagai
keluarga sendiri. “Sebagai keluarga, ilmu apa saja yang bisa diambil Sidogiri
dari STIE Malangkucecwara silahkan diambil,” ungkap H. Thayyib, pemilik
sekaligus Ketua Yayasan Malangkucecwara ketika menerima rombongan Sidogiri yang
melakukan kunjungan ke yayasan itu. Didampingi istri, puteri, dan menantunya
serta beberapa pengurus yayasan dan dosen STIE, H. Thayyib mengungkapkan rasa
kehilangannya yang amat mendalam atas wafatnya Almarhum K.H. Hasani Nawawie.
“Bagi saya dan keluarga saya, beliau adalah guru sekaligus ayah. Sampai sekarang
pun, saya masih punya semacam perasaan bahwa Kiai masih ada,” katanya dengan
muka sedih. “Oleh karena itu, saya harap hubungan dengan Sidogiri terus
berlanjut sampai kapan pun,” lanjut lelaki yang terkenal suka seni bangunan
ini.
Lelaki setengah tua yang masih gagah ini menyatakan
kekaguman yang luar biasa kepada almarhum. Menurutnya, almarhum adalah sosok
yang sangat patut diteladani dan sulit dicari. Beliau adalah ulama yang
sebetul-betulnya ulama. H. Thayyib yakin, Kiai Hasani adalah wali Allah.
“Bahkan, menurut Kiai Mujahid dan seorang Habib, Kiai Hasani mempunyai dua
kewalian,” ungkapnya.
Ia mengaku menerima banyak wejangan dari Kiai Hasani
terutama terkait dengan prinsip hidup serta jalinan ukhuwah dengan sesama
muslim. Salah satu pesan Kiai Hasani yang selalu ia ingat adalah prinsip menjaga
kesatuan umat dengan tidak terjerumus ke dalam fanatisme partai dan golongan. H.
Thayyib mengaku sering mengkampanyekan prinsip ini kepada masyarakat dan para
ulama.
Dalam pertemuan yang berlangsung dengan suasana penuh
kekeluargaan itu, H. Thayyib menceritakan bahwa sekitar 2 minggu sebelum
wafatnya, Kiai Hasani sempat menyatakan niatnya untuk naik haji pada tahun
mendatang. Ia menyambut niat beliau ini dengan gembira. Tapi, yang kemudian
membuat ia sedih, Kiai menyatakan tidak akan kembali setelah haji itu. Dawuh
Kiai ini membuat H. Thayyib menangis sejadi-jadinya, karena menurut firasatnya
ini adalah isyarat bahwa beliau akan meninggalkan kita. “Beliau seperti pamitan
waktu itu,” ungkapnya sedih.
Menurut orang yang mengaku pernah diberi minum air
zamzam sampai tiga gelas oleh K.H. Hasani Nawawie (padahal ia sedang berpuasa
sunah, tapi terpaksa ia batalkan) ini, hal utama yang membuat K.H. Hasani sesak
berada di dunia ini, adalah konflik yang kerap terjadi sesama muslim akhir-akhir
ini. Pemicu utama konflik itu masalah partai. “Kiai Hasani pernah dawuh:
‘bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap santri-santri Sidogiri yang ikut
partai ini dan itu, kemudian saling bertengkar’,” ungkap H. Thayyib memendam
rasa kecewa atas pertikaian umat yang meruncing akhir-akhir ini. (abi)
|
pantherbagero
Minggu, 17 Juni 2012
Kiai Hasani Muda: Diplomat Ulung di Masa Belanda
Bisri Syansuri (1887-1980)
Rois Am III 1971-1980
Lahir di Tayu (Pati, Jawa Tengah). Pendidikan awal diperolehnya di beberapa
pesantren lokal, dan kemudian belajar kepada Kiai Kholil di Bangkalan (dimana
dia bertemu Kiai Wahab Chasbullah untuk pertama kalinya) dan kepada Kiai Hasjim
Asj'ari di Tebuireng (1906-12, bersama Wabab). Ketika sedang berada di Mekkah,
dia menikahi adik perempuan Kiai Wahab, dan sepulangnya dari sana dia terlebih
dahulu menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang. Pada 1917 dia
mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Dia terlibat dalam pebentukan NU pada
1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling
penting. Kiai Bisri pada mulanya adalah seorang ulama ahli fiqh dan seorang
guru, tetapi semakin lama semakin terlibat dalam politik. Ketika Masyumi dibentuk pada 1943, dia aktif di tingkat lokal, dan pada 1945 menjadi salah seorang wakilnya di dalam Komite Nasional Pusat (KNIP). Setelah pemilu 1955 dia menjadi anggota Dewan Konstituante sampai badan ini dibubarkan, dan sejak 1971 hingga akhir hayatnya menjadi anggota DPR semula mewakili NU, dan sejak 1973 mewakili PPP. Setelah Kiai Wahab Chasbullah meninggal dunia pada bulan Desember 1971, Kiai Bisri (yang waktu itu menjabat wakilnya) mengantikannya sebegai Rois Aam. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan Kiai Bisri.
(Masyhuri 1983; Wahid t.t.; Budairy 1984; Tempo 1981: 645-6)
As'ad Syamsul Arifin (1897-1990)
Lahir di Mekkah. dari keluarga Madura asal Pamekasan yang mengaku keturunan bangsawan sekaligus ulama. Sekembalinya ke Madura, ayahnya, Kiai Syamsul Arifin mendirikan sebuah pesantren kecil di Kembang Kuning, Pamekasan, dan beberapa tahun kemudian juga mendirikan sebuab pesantren yang lebih besar di Situbondo, di bagian ujung timur pulau Jawa yang pada saat itu belum dibuka. As`ad sendiri dkirim belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asi'ari di Tebuireng, dan kemudian belajar lagi ke Mekkah. Mulai mengajar di pesantren ayahnya di Situbondo pada 1924, dan menggantikannya ketika sang ayah meninggal dunia pada 1951.
Terkenal sebagai guru pencak silat dan, terutama, ilmu kesaktian. Pesantrennya berkembang pesat, dan pada 1980-an merupakan salah satu yang terbesar di Jawa, yang menawarkan bukan hanya pendidikan tingkat menengah tetapi bahkan pendidikan tinggi Islam. Kiai As'ad tidak pernah memegang jabatan formal dalam kepengurusan NU (kecuali sebagai mustasyar, sejak 1984 hingga 1989). Namun. seiring dengan usianya yang semakin sepuh, pengaruhnya di kalangan ulama lain pun semakin bertambah, karena dia termasuk di antara sedikit murid Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asj'ari yang masih hidup.
Sekitar 1980-an dia menganggap dirinya, dan dianggap orang lain, sebagai pemuka ulama Madura. Wibawanya di kalangan pendudukan Madura sedemikian besar sehingga para pejabat tinggi pemerintah merasa perlu berhubungan dekat dengannya. Namun, wibawanya bukan tidak pernah tergoyahkan. Dalam sebuah konflik antara Kiai As'ad dan tarekat Tijaniyyah (yang mengalami perkembangan pesat) yang berlangasung sengit hampir sepanjang 1980-an, Kiai As'ad gagal keluar sebagai pemenang. Dia menderita kekalahan terbesarnya pada muktamar NU 1989, yang menunjukkan bahwa dirinya sudah tak terpakai lagi.
(Tempo 1984:1016-8 1986: 1094-5; Tempo 15-10-1983 dan 11-8-1990)
Ali Yafie
Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1928. Pendidikan pertamanya adalah sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan madrasah di Sulawesi Selatan (di Madrasah As'adiyah yang terkenal di Singkang). Spesialisasinya adalah fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli yang canggih dalam bidang ini, bacaannya lebih luas daripada yang lain. Dia mengabdikan diri sebagai ha- kim di pengadilan agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat pengadilan agama Indonesia Timur (1962-65).
Sejak 1965 hingga 1971 dia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, dan aktif di NU tingkat propinsi. Dia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada muktamar NU 1971 di Surabaya dia terpilih menjadi Rois Syuriyah, dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR. Dia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, ketika Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon. Sejak itu dia mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada muktamar NU di semarang (1979) dan Situbondo (1984), dia terpilih kembali sehagai Rois, dan di muktamar Krapyak (1989) sebagai wakil Rois Aam. Setelah Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991 dia bertindak sebagai Rois Aam. tetapi setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid dia menarik diri dari PBNU.
Sabtu, 16 Juni 2012
Ali Ma'shum (1915-1989)
Rois Am 1980-1984
Lahir di Lasem sebagai putra Kiai Ma'shum yang terkenal itu. Belajar delapan
tahun di pesantren Tremas (Pacitan, Jawa Timur) dan kembali ke Lasem untuk
mengajar. Menikah dengan putri Kiai Munawwir dari Krapyak, Yogyakarta, seorang
teman ayahnya. Kemudian menghabiskan waktu dua tahun di Mekkah (1938-40). Ketika
bapak mertuanya meningal pada 1942, Kiai Ali diminta menggantikannya sebagai
pimpinan pesantren. Dia mengembangkannya menjadi sebuah pesantren sangat
terkenal di Jawa. Keterlibatan aktif Kiai Ali di NU dimulai agak terlambat dan tetap sangat bersahaja. Pada akhir l96O-an, dia menjadi ketua Syuriyah cabang Yogyakarta, posisi yang hampir tidak dapat dito- laknya karena dia secara umum diakui sebagai ulama yang paling berilmu di wilayah tersebut. Walaupm dia tetap menghindar agar tidak menjadi pusat perhatian, pada sekitar 1980 dia menjadi salah seorang ulama senior yang paling dihormati dan, karena sama sekali tidak berambisi, menjadi figur kompromi yang ideal untuk menggantikan Kiai Bisri Syansuri sebagai Rois Aam pada 1982. Setelab berhenti menjabat Rois Aam pada 1984, dia kembali berusaha sedapat mungkin agar tidak menonjolkan diri. Penyelenggaraan Muktamar NU ke-28 di pesantrennya merupakan sebuah tanda penghormatan yang diberikan kemudian. Beberapa minggu setelah muktamar, dia meninggal dunia.
(Mukhdlor 1989).
Achmad Sjaichu
- Achmad Sjaichu
Lahir di Surabaya pada 1921. Mendapatkan pendidikan di sekolah dasar (Tashwirul Afkar) dan pesantren. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Kiai Wahab Chasbullah. Sebagai anak tiri pendiri NU, dia sangat banyak mendapatkan kemudahan dalam kariernya kemudian. Pada 1950 dia terpilih menjadi anggota dewan kota Surabaya, pada 1955 menjadi anggota parlemen nasional sebagai wakil NU Jawa Timur. Memimpin kelompok NU di parlemen selama 1958-60, dia terpilih menjadi wakil ketua parlemen dari 1963 s.d. 1966. Dipilih kembali menjadi anggota parlemen dalam pemilu 1971.
Pertama kali menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU pada 1957, dan dari 1977 s.d. 1979 menjabat sebagai ketua. Setelah tidak terpilih kembali pada muktamar 1979, dia menarik diri dari NU dan beralih ke aktifitas-aktifitas dakwah, melalui sebuah organisasi baru, Ittihadul Muballighin, yang didirikannya pada 1978 dan sejak saat itu dia menjadi ketuanya. Dari semua politisi NU, tidak diragukan lagi, Sjaichu adalah orang yang banyak mempunyai kontak internasional di dunia Muslim. Dia lama menjabat sebagai semacam birokrat internasional. Dialah yang mengambil prakarsa mengorganisir Konferensi Islam Asia-Afrika, yang akhirnya diselenggarakan pada 1965. Dia juga menjadi presiden Organisasi Islam Asia-Afirika yang lahir pada konferensi tersebut dan terus berlanjut hingga 1973. Sejak saat itu dia tetap aktif dalam Rabithah al-'Alam al-Islami (Liga Dunia Islam) dan Dewan Tertinggi Mesjid Dunia, di Mekkah.
(Tempo 1981 :799; Baidlawi & Ma'shum 1991).
Achmad Siddiq (1926-1991)
Rois Am 1984-1991
Lahir di Jember, putra Kiai Siddiq, dan adik Kiai Machfoedz Siddiq (yang
memegang berbagai jabatan penting di NU dan menjadi ketua umum sejak 1937 s.d
1942). Pernah menjadi sekretaris pribadi Wahid Hasjim saat yang terakhir ini
menjabat sebagai Menteri Agama (1949-52). Selama beberapa tahun (1955-57,
kemudian 1971) dia menjadi anggota parlemen, pada tahun ber- selang dan
tahun-tahun berikutnya membina karier di Departemen Agama, yang berakhir dengan
jabatan sebagai Kepala Kanwil Depag Jawa Timur. Dia bergabung dalam faksi yang
sangat anti-komunis di dalam NU dan secara terbuka menentang Demokrasi
Terpimpin; pada 1965 dia muncul sebagai koordinator tertinggi para kiai
anti-komunis di Jawa Timur. Setelah lama menjabat sebagai pengurus Syuriyah NU,
pada 1984 dia akhirnya terpilih sebagai Rois Aam dan terpilih kembali pada 1989.
(Tempo 1986 :837-8; Anonim 1986: 142-3).
Langganan:
Postingan (Atom)